Di atas Gunung Lalang saat ini, jauh sebelum pemakaman warga Tionghoa, ratusan tahun yang lalu telah ada makam penting yang dikeramatkan. Menurut George Muller (1822), terdapat dua makam keramat di atas bukit tersebut. Makam tersebut merupakan makam raja Tanjungpura era Sukadana tua.
Makam yang dimaksud Muller, yaitu makam Panembahan Baroh, bergelar Sultan Musthafa Izzudin, dari tahun 1562 – 1590 M. Kemudian makam Giri Mustika, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddien. Beliau memerintah dari tahun 1627 – 1677 M.
Sayangnya, kedua makam tersebut tidak terawat dengan baik. Bahkan nisannya sudah diganti dengan semen. Bersyukur masih ditemukan petunjuk yang sangat berarti, yaitu terdapat bata merah dengan bongkahan-bongkahan besar. Pada masa lampau, bata tersebut digunakan sebagai jirat makam.
Struktur jirat pada kedua makam masih tampak jelas. Bahwa ada tradisi memakamkan pada tempat tinggi di era itu, khususnya pada raja-raja Tanjungpura tua. merupakan kebiasaan untuk menandakan tingginya derajat seorang raja. Hal ini bisa dilihat juga pada komplek makam Tok Mangku di bukit Peramas, makam Ayer Mala di Bukit Tambak Rawang. Serta komplek makam Sekusor dan Matan.
Dalam catatan Muller yang juga dijadikan sandaran beberapa buku sejarah kerajaan di Kalimantan Barat, disebutkan bahwa nama Gunung Lalang merupakan bagian dari gugusan ‘Bukit Laut’. Gugusan bukit ini membentang dari mulai Pelintu, Tambak Rawang hingga Teluk Sukadana. Menariknya, nama Gunung Lalang, sudah di tulis oleh Georg Muller pada masa itu.
Soal makam di Gunung Lalang, sampai saat ini masih terjadi silang pendapat. Sebagian orang percaya bahwa itu makam Ratu Soraya, anak dari Panembahan Sorgi, yang menikah dengan Sultan Tengah dari Serawak. Ada juga yang berpendapat, makam tersebut makam Pangeran Sidang Panape. Kedua pendapat ini masih belum teruji kebenarannya. Sebab tidak memiliki landasan sejarah yang kuat.
Panembahan Barokh disebut Muller di makamkan di Gunung Lalang. Beliua merupakan raja Tanjungpura era Sukadana tua, yang pertama kali membuka kota raja Matan. Ketika masa cucunya, Kesultanan Matan benar-benar berdiri.
Puing-puing reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Barokh, masih dapat kita lihat hingga saat ini. Sayang, kondisinya kurang terawat dan memprihatinkan. Diantara peninggalan tersebut, yaitu Kolam Laut Ketinggalan, Umpak (bekas tiang seri keratin), bekas pecahan-pecahan keramik. Serta terdapat batu bata merah di sekitar lokasi bekas keraton Matan kuno. Letaknya tidak jauh dari komplek makam raja Matan, yaitu Gusti Aliuddin (Sultan Mangkurat) dan Sayyid Kubra. Ada juga makam bertipe nisan Aceh, dan makam tua bertipe Phallus atau batu kuno.
Pendirian kerajaan Matan oleh panembahan Barokh, merupakan strategi penyelamatan dan pengamanan kedudukan Kerajaan Tanjung pura di Sukadana. Jika suatu ketika Sukadana lemah pertahanannya akibat peperangan, perebutan hegonomi atau persaingan ekonomi perdagangan, maka Matan sudah siap. Siap ditempati kapanpun. Ini terbukti ketika masa cicit dari Panembahan Barokh, Kota Matan benar-benar berdaulat sebagai kerajaan, dengan bentuk Kesultanan Islam secara penuh.
Makam keramat Gunung Lalang berikutnya, yaitu Giri Mustika atau bergelar Sultan Muhammad Syafiuddien. Beliau putra Panembahan Sorgi (Giri Kesuma) bergelar Sultan Muhammad Tajudin. Kakeknya bernama Sultan Musthafa Izzudin bin Sultan Umar Aqamuddin, bin Sultan Abu bakar Jalaluddin, bin Sultan Hasan Kawiuddin bin Sultan Ali Aliuddin bin Baparung, bin Prabu Jaya (pendiri kerjaan Tanjungpura pertama) dari Majapahit.
Dari Giri Mustika, melahirkan raja-raja di seluruh Kalimantan Barat. Putranya, yaitu Gusti Lekar mendirkan Kerajaan Meliau dan Tayan. Adiknya Ratu Soraya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah melahirkan Kesultanan Sambas. Kemudian cucunya, yaitu Sultan Zainuddin, menurunkan Kerajaan Mempawah dan Pontianak.
Tertanda
TIM AHLI CAGAR BUDAYA
Kabupaten Kayong Utara.