Titik Awal Persebaran Raja Raja di KALBAR

Situs yang berada di atas Gunung Lalang saat ini, terdapat beberapa makam. Salah satunya Panembahan Dibarokh (Sultan Musthafa Izzudien). Beliau meninggal tahun 1590 M.

Silsilah Raja raja Tanjungpura, Matan dan Simpang

Daftar Raja Raja Tanjungpura - Sukadana – Matan – Indralaya - Simpang Matan – Matan Kayong – Mulia Kerta (Matan Tanjung Pura) dan Sukadana New Brussel.

Nisan dan Bata Merah Yang Punya Kekuatan Magis !

Suatu saat salah seorang sahabat dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sedang belanja membeli sesuatu disalah satu toko Sukadana. Saat itu tidak sengaja mendengar pembicaraan serius dari beberapa orang dipojok toko, sambil menonton video diyutube, tentang salah satu makam dengan susunan bata merah yang sudah tidak utuh lagi..

Siapkah Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Kayong Utara ?

Menjadi Tim Cagar Budaya adalah salah satu cita cita dan tugas mulia bagi kami. Sebelumnya kami lahir dari berbagai latar belakang, namun memiliki kesenangan yang sama yakni bidang sejarah dan budaya. Dari kesamaan itu kami banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sejarah dan budaya dan sebagain terekam dari berbagai karya yang juga ada di blog kerjaansimpang, akun yutube Kayong Tv, mitra swasta maupun pemerintah.

Asal Usul Suku Melayu Kayong

Kabupaten ketapang dan kayong utara memiliki jejak peradaban yang tertua di kalimantan barat yakni Kerajaan Tanjungpura dan beberapa kali mengalami perpindahan ibu kota dari mulai Negeri Baru Ketapang , Sukadana ,Matan, Indralaya, Tanah Merah, Simpang dan Muliakerta..

MAKAM KERAMAT GUNUNG LALANG, Makam Raja- raja Sukadana Kuno abad 16






Di atas Gunung Lalang saat ini, jauh sebelum pemakaman warga Tionghoa, ratusan tahun yang lalu telah ada makam penting yang dikeramatkan. Menurut George Muller (1822), terdapat dua makam keramat di atas bukit tersebut. Makam tersebut merupakan makam raja Tanjungpura era Sukadana tua. 

Makam yang dimaksud Muller, yaitu makam Panembahan Baroh, bergelar Sultan Musthafa Izzudin, dari tahun 1562 – 1590 M. Kemudian makam Giri Mustika, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddien. Beliau memerintah dari tahun 1627 – 1677 M. 

Sayangnya, kedua makam tersebut tidak terawat dengan baik. Bahkan nisannya sudah diganti dengan semen. Bersyukur masih ditemukan petunjuk yang sangat berarti, yaitu terdapat bata merah dengan bongkahan-bongkahan besar. Pada masa lampau, bata tersebut digunakan sebagai jirat makam. 

Struktur jirat pada kedua makam masih tampak jelas. Bahwa ada tradisi memakamkan pada tempat tinggi di era itu, khususnya pada raja-raja Tanjungpura tua. merupakan kebiasaan untuk menandakan tingginya derajat seorang raja. Hal ini bisa dilihat juga pada komplek makam Tok Mangku di bukit Peramas, makam Ayer Mala di Bukit Tambak Rawang. Serta komplek makam Sekusor dan Matan.

Dalam catatan Muller yang juga dijadikan sandaran beberapa buku sejarah kerajaan di Kalimantan Barat, disebutkan bahwa nama Gunung Lalang merupakan bagian dari gugusan ‘Bukit Laut’. Gugusan bukit ini membentang dari mulai Pelintu, Tambak Rawang hingga Teluk Sukadana. Menariknya, nama Gunung Lalang, sudah di tulis oleh Georg Muller pada masa itu.

Soal makam di Gunung Lalang, sampai saat ini masih terjadi silang pendapat. Sebagian orang percaya bahwa itu makam Ratu Soraya, anak dari Panembahan Sorgi, yang menikah dengan Sultan Tengah dari Serawak. Ada juga yang berpendapat, makam tersebut makam Pangeran Sidang Panape. Kedua pendapat ini masih belum teruji kebenarannya. Sebab tidak memiliki landasan sejarah yang kuat.  

Panembahan Barokh disebut Muller di makamkan di Gunung Lalang. Beliua merupakan raja Tanjungpura era Sukadana tua, yang pertama kali membuka kota raja Matan. Ketika masa cucunya, Kesultanan Matan benar-benar berdiri. 

Puing-puing reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Barokh, masih dapat kita lihat hingga saat ini. Sayang, kondisinya kurang terawat dan memprihatinkan. Diantara peninggalan tersebut, yaitu Kolam Laut Ketinggalan, Umpak (bekas tiang seri keratin), bekas pecahan-pecahan keramik. Serta terdapat batu bata merah di sekitar lokasi bekas keraton Matan kuno. Letaknya tidak jauh dari komplek makam raja Matan, yaitu Gusti Aliuddin (Sultan Mangkurat) dan Sayyid Kubra. Ada juga makam bertipe nisan Aceh, dan makam tua bertipe Phallus atau batu kuno.

Pendirian kerajaan Matan oleh panembahan Barokh, merupakan strategi penyelamatan dan pengamanan kedudukan Kerajaan Tanjung pura di Sukadana. Jika suatu ketika Sukadana lemah pertahanannya akibat peperangan, perebutan hegonomi atau persaingan ekonomi perdagangan, maka Matan sudah siap. Siap ditempati kapanpun. Ini terbukti ketika masa cicit dari Panembahan Barokh, Kota Matan benar-benar berdaulat sebagai kerajaan, dengan bentuk Kesultanan Islam secara penuh. 

Makam keramat Gunung Lalang berikutnya, yaitu Giri Mustika atau bergelar Sultan Muhammad Syafiuddien. Beliau putra Panembahan Sorgi (Giri Kesuma) bergelar Sultan Muhammad Tajudin. Kakeknya bernama Sultan Musthafa Izzudin bin Sultan Umar Aqamuddin, bin Sultan Abu bakar Jalaluddin, bin Sultan Hasan Kawiuddin bin Sultan Ali Aliuddin bin Baparung, bin Prabu Jaya (pendiri kerjaan Tanjungpura pertama) dari Majapahit.

Dari Giri Mustika, melahirkan raja-raja di seluruh Kalimantan Barat. Putranya, yaitu Gusti Lekar mendirkan Kerajaan Meliau dan Tayan. Adiknya Ratu Soraya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah melahirkan Kesultanan Sambas. Kemudian cucunya, yaitu Sultan Zainuddin, menurunkan Kerajaan Mempawah dan Pontianak.

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.


Share:

SDN 01 SUKADANA, Bangunan Sekolah Zaman Pemerintah Hindia Belanda





Menurut riwayat/cerita orang-orang tua, SDN ini di bangun oleh Belanda tahun 1928. Sejak di bangun, bangunan ini memang berfungsi untuk sekolah hingga sekarang. Ini bagian dari kebijakan politik balas budi (politik etis) Belanda ke bangsa Indonesia. SDN 01 ini telah banyak melahirkan orang-rang penting dan ternama, termasuk Oesman Sapta Odang (OSO) dan Drs. Chornelis, S.H., M.H., matan Gubernur Kalbar.

Bahan utama bangunan ini kayu belian dan kayu kelas 1. Mulai dari tongkat, tiang, gelegar dan lantai belian. Sedangkan bangunan bagian atas seperti kasau, reng dan lainnya kayu kelas 1. Dulu atapnya sirap (belian), sekarang atasnya seng metal.

Lebar bangunan utama termasuk teras keliling, yaitu 33,35 meter dan panjang 9,30 meter. Ruang kelas terdiri dari 4 ruang, dengan ukuran bervariasi. Untuk memudahkan mengidentifikasi, setiap ruang kami beri kode ruang A, B, C, D dan E. Lingkaran teras keliling (ruang A) lebar dari sisi tepi ke bangunan utama 1,52 meter keliling. Ruang B ukuran 9,20 m x 6,35 m, ruang C ukuran 7,78 m x 6,35 m, ruang D ukuran 7,78 m x 6,35 m dan ukuran ruang E  7,78 m x 6,35 m. Antara ruang B dan C ada losan atau bisa dibuka. Tampaknya ini sengaja di desain, untuk ruang pertemuan. 

Tinggi bangunan 3,31 meter. Sedangkan tinggi tongkat sekarang sisa 1,10 meter. Tinggi tongkat dulu sekitar 1,60 – 2 meter. Menjadi rendah, karena ada penimbunan halaman. Dulu di bawah/kolong sekolah bisa memakir sepeda dan sepeda motor, sekarang tidak bisa lagi. Sisi bangunan lain yang berubah, yaitu plafon. Dulu desain Plafonnya langsung nempel di kasau. Desain ini dirancang agar tidak panas, apa lagi sekeliling ruangan tersedia Ventilasi yang tingginya lebih dari 1 meter, sehingga angin bebas keluar masuk, tak perlu kipas angin. Sekarang  plafonnya di desain datar. SDN ini di apit 2 jalan utama, jalan Kota Karang dan jalan Kampung Laut. Jarak dari jalan Kota Karang 11,40 meter. Jarak dari jalan Kampung Laut 10,50 meter.


Share:

RUMAH TENGKU MOEHAMMAD Sukadana Baru (New Brussel) 1939 -1949

 Rumah tersebut, yaitu rumah pribadi Tengku Moehammad bin Tengku Abdul Hamid bin Tengku Putra bin Tengku Besar Anom bin Tengku Akil bin Tengku Musa. Tengku Moehammad pernah disembunyikan dari kejaran Jepang oleh kaki tangan Jepang di Sukadana, dia mengungsi dan bersembunyi ke Pulau Karimata.




Riwayat anaknya Tengku Syarifudin, rumah tersebut dibangun pada tahun 1927 dan di pugar berikutnya tahun 1949. Tukang bangunan bernama Naim. Bentuk bangunan limas Melayu. Jika dilihat dari atas berbentuk bangunan seperti plus (+). Saat ini ada tambahan bangunan sekitar 5,50 meter di bagian belakang. Di bagian belakang tersebut sebagai tempat tinggal sekarang, karena bangunan utama (depan) tidak layak dihuni lagi.

Bahan utama bangunan rumah Tengku Muhammad kayu belian dan kayu kelas 1. Tiang dan tongkat kayu belian. Tiang masih menggunakan tiang langsung dari tanah. Lantai dan dinding papan kelas 1. Kondisi dinding mulai keropos di makan usia. Atap sirap (belian), di bagian tertentu tampak bocor.  

Peninggalan-peninggalan yang masih ada di rumah tersebut, yaitu: 

1. Lemari 3  buah, di beli dari Jawa tahun 1927;

2. Satu buah puadai, ornamen terbuat dari kayu untuk dekorasi perkawinan; dan

3. Satu buah lanjang (lunas) atau bakal sampan terbuat dari kayu belian, panjang sekitar 6 meter. 

Ditemukan sekitar tahun 1980 di dalam parit samping rumah Tengku Moehammad. Umur lanjang tersebut diperkirakan  lebih dari 50 tahun.

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.


Share:

MAKAM TENGKU ABDUL HAMID Pangeran Bendahara Kerajaan Sukadana Baru 1910 - 1939






Objek yang di duga cagar budaya ini, yaitu makam Tengku Abdul Hamid. Terletak di Dusun Simpang Empat, Desa Pangkalan Buton Kecamatan Sukadana. Panembahan Tengku Abdul Hamid alias Pangeran Bendahara, merupakan raja ke-5 era Sukadana baru atau Brussel. Beliau memerintah dari tahun 1910 – 1939. 

Beliau  keturunan Tengku Akil, yang merupakan pendiri kerajaan Sukadana baru. Disebut Sukadana baru, sebab sebelunya merupakan trah dari  kerajaan Tanjung Pura era Sukadana tua, sebelum berpindah ke Matan. Nasabnya, Tengku Abdul Hamid bin Tengku Putra bin Tengku Besar Anom bin Tengku Akil bin Tengku Musa.

Panembahan Tengku Abdul Hamid, meninggal pada tahun 1939, dengan meninggalkan 4 istri dan 12 orang keturunan. Tampuk kepemimpinan di lanjutkan oleh salah seorang anaknya yakni Tengku Moehammad.

Makam Tengku Abdul Hamid ini menduduki tanah lebar 16,60 meter dan panjang sisi kanan 15,60 meter dan sisi kiri 17,60 meter. Kondisi makam ada cungkup, dengan panjang 8,34 meter dan lebar 4,60 meter. Bahan cungkup menggunakan kayu belian, kayu kelas 1, dan kombinasi semen. Atapnya sirap.  Nisan terbuat dari kayu belian. 

Di sebelah makam Tengku Abdil Hamid, terdapat makam Tengku Moehammad, yaitu raja terakhir setelahnya. Selain, terdapat makam-makam lain yang merupakan kerabatnya.

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.


Share:

MAKAM MAK TIMBANG ATAUKAH RATU SORAYA ?, Misteri Bukit Laut Tambak Rawang Sukadana

 






Pada situs makam ini terdapat keterangan di plang nama “Makam Ratu Soraya”, terletak di Dusun Tambak Rawang Desa Gunung Sembilan, Sukadana.  Jika dilihat dari catatan buku tamu,  para peziarah yang sering berkunjung  ada yang berasal dari negara Brunei Darusalam dan luar Pulau Kalimantan. 

Ukuran  yang merupakan bagian dari makam Ratu Soraya, panjang 1,90 meter dan lebar 0,80 meter. Yaitu merupakan ruang yang disisakan sebagai tempat nisan, tidak di semen atau di pasang keramik. Lebar cungkup 6 x 6 meter dengan tinggi 2,93 meter. Nisan berbahan batu andesit, tipe Singapura abad ke-19. Tinggi nisan 65 cm dan lebar 20 cm. 

Mengenai keberadaan makam Ratu Soraya,  terjadi kesalahan dalam penamaan. Berdasarkan beberapa kajian mengenai keberadaan makamnya, hingga saat ini sebenarnya masih belum final. Sebab Belum mendapat titik terang dimana sesungguhnya Ratu Soraya dimakamkan. 

Dari sisi arkeologis pun, keberadaan makam Ratu Soraya di Tambak Rawang, tepatnya di bukit yang menghadap ke Teluk Sukadana masih diragukan. Sebab, berdasarkan dari hasil pengamatan dan perabaan, batu nisan yang ada di makam tersebut, merupakan nisan yang bertipe Singapura. Tipe ini tren dipakai pada abad 19 Masehi. 

Sedangkan dari sisi kesejarahan, Ratu Soraya hidup pada abad ke -17, di masa raja Panembahan Sorgi (Sultan Muhammad Tajudin), yang merupakan ayahandanya memerintah Sukadana. Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Mas Jaintan ( Ibu Ratu Soraya), dan Giri Mustika (Sultan Muhammad Tsafiuddin), yakni abangnya yang menjadi raja dari tahun 1627 hingga meninggal tahun 1677 M. 

Ratu Soraya sendiri saat itu menikah dengan Sultan tengah yang merupakan pangeran Kerajaan Brunei yang menjadi raja di Sarawak. Ratu Soraya menikah dengannya pada tahun 1610 M. Salah satu puteranya disebutkan dalam kitab silsilah raja melayu dan bugis menjadi raja Sambas pertama yang bergelar Sultan yakni Raden Sulaiman atau sultan Muhammad Tsafiuddien yang mana gelar itu adalah pemeberian dari pamannya yakni Giri Mustika yang merupakan abang dari Ratu Soraya. 

Setelah kemangkatan Sultan Tengah pada tahun 1642, Ratu Soraya di kabarkan pulang ke Sukadana, namun pada masa itu pusat ibu kota sudah dipindahkan ke Matan oleh abangnya yang bernama giri Mustika. Pada masa transisi inilah dimana keberadaan Ratu Soraya selanjutnya hingga ia meninggal menjadi misteri. Apakah di Sukadana atau pindah ke Matan ?. 

Menurut tokoh masyarakat setempat, yaitu Imam Norman (74 Tahun), bahwa dahulunya makam yang saat ini di beri nama Ratu Soraya tersebut sering disebut sebagai makam Mak Timbang. Setelah rombongan Brunei pulang, penyebutan warga berubah jadi makam Ratu Soraya. Padahal penelitian rombongan Brunei di makam Gunung Lalang dan Panembahan Ayer Mala Sukadana, tidak menyimpulkan Ratu Soraya. Tetapi dicurigai beberapa warga sebagai makam Ratu Soraya. 

Berdasarakan identifikasi Haji Syarifudin bersama masyarakat Tambak Rawang tahun 2008 (foto terlampir), makam yang disebut Ratu Soraya saat ini, waktu ditemukan pertama kali belum memiliki deskripsi dan tidak di ketahui namanya. Dalam keterangan foto dokumentasi pribadi Syarifudin saat itu tertulis, “Makam tanpa nama di Gunung Bukit Laut Tambak Rawang”.  

Hingga saat ini, belum ada argumentasi yang kuat mengenai makam yang diduga  Ratu Soraya tersebut. Jika Dugaan kuatnya adalah makam Ratu Soraya, paling tidak ada sumber primer yang bisa memberikan alasan. Hingga saat ini, satu-satunya yang bisa menjadi penanda, yaitu tradisi memakamkan seseorang di atas bukit pada masa itu bukanlah orang biasa yang dimakamkan. Namun jika melihat dari sisi arkehologis yakni batu nisan pada makam Soraya, yang eranya jauh berselisih dengan masa hidupnya, maka makam tersebut diragukan jika sudah ada sejak abad ke- 17, yakni di masa hidupnya Ratu Soraya.

Dengan demikian karena masih diragukan keberadaanya. Alangkah lebih baik penamaan makam Ratu Soraya dikembalikan awal, saat ditemukan sesuai dengan catatan Imam norman serta sesuai dengan penamaan tempat, yang juga  berdasarkan  catatan Haji Syarifudin yakni; Makam Mak Timbang di Bukit Laut, atau “Makam Mak Timbang” Saja.  

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.


Share:

KOMPLEK MAKAM PANEMBAHAN AYER MALA, Raja Tanjungpura Era Sukadana Tua (1533 - 1562)





Makam Panembahan Ayer Mala secara administrasi berada di dusun Nirmala Desa Gunung Sembilan Kecamatan Sukadana.  Berjarak 275 meter dari Jalan Raya Desa Gunung Sembilan arah timur laut, berada 37 meter dari permukaan laut di kaki bukit Gunung Sembilan. Secara astronomis, makam ini terletak pada S 1°13’37,78” dan T 109°56’41,43”. Lokasi situs ini berada diperkebunan warga yang sudah dibebaskan untuk situs ini. 

Yang sangat memprihatinkan, selama puluhan tahun nisan tersebut terpasang terbalik. Ditambah lagi, ada kebiasaan tidak baik dari para penziarah, mengikatkan kain kuning di nisan. Hal tersebut semakin mempercepat kerusakan nisan, karena kain ikatan menjadi tempat sarang semut. Harus ada langkah-langkah penyelamatan situs ini, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah atau hilang.

Makam Panembahan Ayer Mala berada pada cungkup makam berukuran 6 x 6 Meter yang dibuat baru untuk perlindungan terhadap makam, dengan tiang penyangga kayu belian dan lantai beton berkeramik. Sayang, ketika awal pemugaran makam, tidak tercatat kondisi eksisting sebelum pemugaran. Nisan makam ini terbuat dari batu putih berukir halus bermotif sulur-suluran dan bunga, dengan langgam krawing Demak Troloyo. Motif dan langgam ukiran nisan ini mempunyai kemiripan dengan nisan makam Raden Fatah di Demak Jawa Tengah. Makam ini bercorak islam menghadap ke barat, pada bagian kepala dan kaki nisan sudah patah dan hilang pada bagian puncaknya. Areal makam ini berada dilereng bukit yang diratakan berukuran 10 x 25 meter, dan terdapat susunan batu andesit yang difungsikan sebagai talud perkuatan struktur tanah berada disisi barat daya dan tenggara areal makam. Ditemukan juga pecahan batu bata merah dengan ukuran yang beragam disekitar makam yang kita duga sebagai jirat makam ini, dan pada bagian barat daya areal ditemukan struktur susuanan bata merah  berada 20 cm dari permukaan tanah, yang belum terbuka secara utuh.

Panembahan Ayer Mala adalah seorang raja di Kerajaan Tanjungpura ketika beribukota di Sukadana, atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Sukadana Tua, yang memerintah dikurun abad 16. Beliau memerintah setelah didahului oleh Pamannya, Pangeran Anom sebagai pemerintahan sementara.  

Pangeran Anom memerintah sementara sebab ayah Panembahan Ayer Mala Panembahan Bandala wafat ketika Ayer Mala belum dewasa. Pada masa pemerintahan Panembahan Ayer Mala, pertanian menjadi perhatian beliau, perdagangan Sukadana sudah maju pesat dengan komoditi penting berupa biji besi dan timah. Teknologi pembangunan kapal dan jung juga sudah semakin maju. 

Dari sumber yang lain, kita mendapatkan gelar Panembahan Ayer Mala sebagai Sultan Umar Akamuddin. Kami menduga, gelar ini merupakan gelar anumerta, yang berarti diberikan oleh keturunnya ketika beliau sudah wafat. Hal ini didasarkan pada perubahan Kerajaan Sukadana Tua menjadi Kesultanan terjadi pada saat pemerintahan dipegang oleh Giri Mustika yang atas alasan perubahan bentuk kerajaan menjadi kesultanan ini pula, gelar Giri Mustika berubah dari Panembahan Giri Mustika menjadi bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin.

Keberadaan makam Panembahan Ayer Mala ini menjadi penting dalam menggali sejarah Kerajaan Sukadana tua. Dapat menjadi petunjuk awal dimana kawasan pemukiman waktu itu serta dimana perkiraan letak Keraton Kerajaan waktu itu.

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.


Share:

SEJARAH KOMPLEK MAKAM RAJA RIAU SUKADANA Abad XVIII

 





Komplek Makam Raja Riau adalah kumpulan makam yang terletak di Dusun Tanjung Belimbing Desa Pangkalan Buton Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Berada di tanah datar pada ketinggian 9 meter dari permukaan laut, sebelah selatan Jalan Tanjungpura sejauh 56 meter. Letak astronoomis situs ini berada pada S 1°14’28,67” dan T 109°58’01,12” tidak jauh dari pemukiman warga. Lahan situs ini secara turun-temurun sudah dijadikan warga sebagai lahan pemakaman, sehingga terdapat makam warga lainnya dilokasi ini.

Makam utama berada pada cungkup yang dibuat dari atap seng, tiang kayu belian dengan dinding terbuka dan hanya dibatasi dengan pagar serta lantai terbuat dari cor semen berkeramik.  Ada 2 makam yang berada dalam cungkup, yang terdiri dari 2 pasang nisan terbuat dari batu andesit. Makam Islam ini menghadap kiblat diidentifikasi sebagai makam A dan B. 

Nisan Makam A berbentuk sederhana bagian kepala berukuran tinggi (Kp. 85 cm, Kk. 80),  lebar 7c Cm m dan tebal (Kp. 28 cm, Kk. 30 Cm). Nisan makam B juga berbentuk sederhana berukuran tinggi (Kp. 95 cm, Kk. 90 cm), lebar 70 cm dan tebal (Kp. 25 cm, Kk. 25 cm).  Terlihat nisan makam A lebih besar dari nisan makam B.

Keberadaan 2 makam ini terlihat berbeda dari makam lainnya di komplek ini, dimana makam yang berada di cungkup nisannya terbuat dari batu andesit dan lebih besar dari nisan makam lainnya. 

Bentuk dan corak nisan Makam Raja Riau mempunyai langgam yang berbeda bila dibandingkan dengan nisan tipe Demak, nisan tipe Aceh dan nisan tipe Singapura. 

Gusti Bandar atau Raden Bandar berasal dari Pulau Payong, Riau. Beliau merupakan keturunan Daeng Perani, Saudara Daeng Menambon. Dalam kurun waktu 1770 sampai dengan tahun 1786, Gusti Bandar hijrah ke kalimantan akibat perang Riau melawan VOC di Riau. Terlebih dahulu ia menetap di Mempawah selama beberapa tahun, kemudian berpindah ke Sukadana, dan diterima dengan baik oleh Sultan Matan Indra Laya bergelar Sultan Akhmad Kamaluddin. Gusti Bandar hijrah ke Sukadana dengan membawa pengikut dan harta benda yang ia punya, dan diberikan lahan pertanian oleh Sultan Indralaya di kiri Sungai Sukadana untuk berdiam dan berkebun. Dimana pada waktu itu, Sultan Indralaya mempunyai istana kedua di Sukadana selain Istana Utama berada di hulu Sungai Pawan.

Berdasar kesepakan Kesultanan Banten dengan VOC pada tanggal 26 Maret 1778 dimana Banten telah menyerahkan Landak dan Sukadana kepada VOC, maka Pemerintah Hindia Belanda marah atas penolakan Sultan Indralaya untuk patuh terhadap perjanjian tersebut. Oleh karenanya, Pemerintah Hindia Belanda bersama Kesultanan Pontianak melakukan upaya paksa dengan menyerang Sukadana. Gusti Bandar dikabarkan sempat membantu Sultan Indralaya dalam upaya mempertahankan Bandar Sukadana dari serangan Belanda dan Pontianak pada tahun 1786. Serangan Pontianak dan VOC berakibat pada penghancuran dan pembakaran Sukadana.

Salah seorang anak perempuan Gusti Bandar yang bernama Utin Apam menikah dengan anak Sultan Indralaya bernama Pangeran Muhammad Jamaluddin. Kelak, Pangeran Muhammad Jamaluddin naik tahta menggantikan ayahnya Sultan Indralaya pada tahun 1790. Putri Gusti Bandar yang lain menikah dengan Pangeran Aria, keluarga dari Kesultanan Sambas.

Tertanda

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

Kabupaten Kayong Utara.



Share:

Cari Blog Ini

  • ()
  • ()
Tampilkan selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.

Kontributor

Blogger templates