Kolam Danau Raja Kesultanan Matan
Kolam Eks Kesultanan Matan tua. Masyarakat setempat menyebutnya Kolam Laut Ketinggalan, atau Kolam Danau Raja. Letaknya di Desa Matan Jaya, Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Panjang kolam 80 meter dan lebar 68 meter, atau 5.440 meter persegi, dengan tinggi tanggul antara 3,50 - 4,50 meter. Dengan inled (pintu masuk air) selebar 5 - 7,5 meter. Lingkaran tanggul (piramid) bagian barat 21 meter, dengan tinggi kemeringan 10 meter. Lingkaran tanggul (piramid) bagian timur 11,5 meter, dengan tinggi kemeringan 7 meter. Menghadap ke utara sebagai pintu masuk air, yang mengalir dari Gunung Matan. Kemudian, di sebelah selatan terdapat outled (pintu keluar air) selebar 2 meter.
Kolam Laut Ketinggalan tersebut tidak jauh dengan temuan umpak, bakas penyangga tiang seri keraton. Jaraknya sekitar 70 meter saja. Jarak kolam ke makam Sayyid Qubra (Kubra) dan sultan-sultan Matan juga tidak begitu jauh, hanya berjarak 150 meter. Di samping kolam terdapat cungkup. Isi cungkup, semacam makam dengan nisan batu alam, dan batu berbentuk bulat dengan diameter lebih dari 0,30 meter, yang dihubungkan dengan keberadaan Kolam Laut Ketinggalan. Namun batu bulat yang disebut warga sebagai makam tersebut, sepertinya bukan nisan, melainkan semacam prasasti. Diduga batu bulat tersebut sebagai penanda (prasasti) keberadaan Kolam Danau Raja atau Laut Ketinggalan.
Sayangnya, kondisi situs Kolam Laut Ketinggalan ini sangat memprihatinkan. Bagian dasar tanggul sudah ditanami warga dengan sawit. Situs ini beralih fungsi sebagai permukiman warga. Sehingga sebagian dari struktur situs ini sudah tidak utuh lagi, terutama tanggul di bagian selatan.
Bagian utara kolam, di atas inled terdapat kandang ayam pedaging. Disamping kandang ayam, tanggulnya dicangkul dibuat jalan untuk kendaraan membawa buah sawit. Sebelah selatan, di dalam kolamnya terdapat kakus (toilet), rumah warga dan bangunan TK.
Kondisi tanggul sebelah selatan tersebut, lebih dari setengahnya telah rusak dan rata dengan jalan. Penyebabnya, karena alih fungsi untuk bangunan atau tempat tinggal. Tanggul yang tersisa 21,60 meter saja dari lebar 68 meter, yaitu dari outled ke arah barat atau ke sudut tanggul.
Berdasarkan informasi, bahwa lokasi Kolam Laut Ketinggalan saat ini, tanah/lokasinya telah dimiliki warga. Pemiliknya, yaitu warga yang saat ini berusaha dan bertempat tinggal di lokasi situs. Ada yang mendapatkan tanah ini membeli dari pemilik sebelumnya. Ada juga yang menempatinya, ketika mereka masuk ke Matan era 1970-an, kerja kayu dan menetap di Matan.
Sangat disayangkan, mengapa situs berharga seperti Kolam Danau Raja ini menjadi terlantar dan terancam rusak? Mungkin masyarakat belum memiliki pemahaman tentang arti pentingnya peninggalan bersejara, atau jejak sejarah dari para leluhurnya. Atau sebagian dari warga beranggapan, tidak penting mempertahankan peninggalan-peninggalan masa lalu, seperti Kolam Danau Raja dan sebagainya.
Bagaimana ceritanya situs Kolam Laut Ketinggalan, bisa diakui sepihak oleh orang yang menemukannya, lalu menjualnya? Sementara, di lokasi sekitarnya terdapat beberapa bukti penting, seperti makam dan umpak. Kemudian, setelah dijual lahan tersebut digarap. Maka dipastikan, kelak jejak sejarah dan bukti penting ini hanya tinggal cerita saja.
Dalam kepercayaan masyarakat setempat, bahwa Kolam Laut Ketinggalan berhubungan dengan cerita legenda tentang putri raja Matan. Legenda yang mengisahkan tentang seorang putri raja, yang diramalkan akan menemui ajalnya dimakan buaya.
Legendanya, sang Putri berkeinginan mandi di laut. Karena khawatir dengan ramalan tentang putrinya. Demi keselamatan buah hatinya, sang raja memerintahkan ke pegawainya untuk membuat kolam pemandian putrinya. Sebagai mainan si putri di kolamnya, dibuatlah buaya mainan dari kayu. Namun naas, tangan tuan putri luka tergores gigi buaya, yang terbuat dari kayu belian. Sebab luka itu, membawa kematian sang putri.
Kolam yang dimaksud dalam cerita tersebut, di bangun pada zaman Giri Mustika, Sultan Matan abad ke-17. Kolom tersebut bagian dari sistem pengairan perladangan (sawah) pada masa itu.
Setting cerita yang mengambil latar sejarah era Giri Mustika, tentu membuka pemikiran kita, bahwa cerita ini sudah begitu tua hadir di tengah masyarakat. Walaupun, lagi-lagi, kita sulit mendapatkan data kapan persis cerita ini muncul dalam budaya masyarakat setempat.
0 komentar:
Posting Komentar