Kawasan Situs Simpang Keramat dan Sejarahnya

  

Situs eks (bekas) ibu kota Kerajaan Simpang Matan, terletak pada astronomis 1°03’16.5” S - 110° 06’26,8” E. Berada tepat di tanjung, persimpangan Sungai Lubuk Batu (Sidiaw/Sijo/Baye) dan Sungai Matan. Wilayah ini merupakan daerah berlahan basah, pasang surut air tawar dan payau. Sekarang daerah ini sudah menghutan. Hanya areal pemakaman dan meriam yang sering dibersihkan para peziarah.

Berdasar tata letaknya, kami mencoba membagi situs ini dalam zonasi, sesuai karakteristik dan tinggalannya. Yaitu: Zona Makam, Zona Meriam Bujang Koreng, Zona Istana dan Masjid, dan Zona Eks Permukiman Lama.



1.         Zona Meriam Bujang Koreng (Situs A)

Kertika kita berziarah ke Kawasan Simpang Keramat, saat naik ke dermaga, situs yang pertama yang kita jumpai, Meriam Bujang Koreng. Situs ini berada di sebelah kiri sat kita menuju zona makam. Sekitar 20,20 meter jaraknya dari gertak utama. Terletak tidak jauh dari Sungai Baye (Lubuk Batu).

Meriam pusaka tersebut diletakan pada kayu penyangga, bercat warna kuning. Ditempatkan pada sebuah bangunan bercungkup berukuran 3 x 3 meter. Meriam besi ini panjangnya 1,36 meter. Jika dengan tangkainya, panjang Meriam Bujang Koreng menjadi 1,50 meter. Lingkaran pangkal meriam 0,85 meter atau diameter sekitar 0,42 meter. Lingkaran ujung meriam 0,60 meter atau diameter 0,30 meter. Terdapat lubang poros/lobang peluru, dengan diameter 0,10 meter. Terdapat lobang kecil, yaitu lobang pemicu/misiu, jaraknya 0,10 meter dari pangkal. Kemudian jarak dari pangkal ke tangan meriam 0,58 meter.

Menghubungkan dengan data sejarah, laporan George Muller yang datang ke lokasi ini tahun 1822, menyebutkan ada 6 unit meriam. Meriam ini disebut sebagai benteng pertahanan ibu kota, 4 berada di kiri dan 2 berada di kanan. Jadi, Bujang Koren merupakan satu-satunya meriam yang tersisa, yang asalnya berjumlah 6 unit.

Terletak di bagian tenggara dan selatan Bujang Koreng, terdapat situs atau komplek pemakaman tua, bekas keraton dan masjid kerajaan. Khusus areal pemakaman dan Bujang Koreng, selalu dibersihkan peziarah. Di dalam hutan, tak jauh dari areal makam utama, ada makam dengan nisan kayu ulin yang tua dan sudah lapuk.  Juga terdapat 1 makam batu andesit tipe Singapura.

 



2.         Zona Makam (Situs B, C dan D)

Terletak di bagian tenggara Bujang Koreng, terdapat Situs B, yang merupakan zona pemakaman atau zona inti dari kawasan ini. Kami sebut zona inti, sebab satus ini merupakan situs penting dari tinggalan sejarah Kerajaan Simpang Matan di kawasan ini yang masih utuh. Makam tersebut, merupakan tokoh-tokoh penting, pelaku sejarah ratusan tahun yang lalu.    

Terdapat dermaga di pingir sungai. Dilanjutkan gertak kayu, dengan lebar 1 meter dan panjang 110,30 meter mengarah ke cungkup utama, yaitu zona makam/situs B. Sebelum sampai ke cungkup utama, di sebelah kiri gertak, ada sebuah bangunan peristirahatan (saung) berukuran 4 x 8 meter.

Di dalam cungkup utama yang berukuran  9,87 x 7,87 meter, terdapat 1 makam dengan nisan batu bertipe gada, di cat berwarna kuning. Sisanya 29 makam dengan nisan terbuat dari kayu belian/ulin, yang terbagi dari makam jenis pipih dan bulat atau persegi. Sebagian nisan kayu di dalam cungkup sudah diganti. Sedangkan nisan lama yang sudah lapuk di luar cungkup, masih luput dari perhatian.



Makam yang terbuat dari batu andesit (tipe gada) tersebut, berada di tengah tengah makam lain. Jarak antar nisannya 1,39 meter, tinggi nisan 1,05 meter. Arah orientasi makam mengarah ke kiblat, dengan perbedaan sedikit satu sama lain. Arah selatan dari cungkup atau di luar cungkup, masih ditemukan makam-makam dengan nisan kayu belian/ulin yang lapuk. Arah tenggara cungkup, terdapat juga nisan berbahan batu andesit tipe Singapura, berjarak 21,70 meter dari cungkup. Sedangkan arah barat, nisan atau makam yang masih tergolong baru.

Dari data yang ada, kami meyakini makam batu yang berada ditengah cungkup di situs B, merupakan makam Pangeran Ratoe Kesumaningrat, raja pertama Kerajaan Simpang Matan. Informasi yang bersumber dari George Muller, dia menyebut makam Pangeran Ratu Kesumaningrat berada di belakang Istana Kerajaan.

Berdasar keterangan Raden Jamrudin (kerabat kerajaan), bahwa semua raja-raja Kerajaan Simpang Matan, dimakamkan berdekatan dengan makam Pangeran Ratoe Kesumaningrat. Kemudian terdapat makam Panembahan Anom Kesumaningrat (Gusti Muhammad Roem) di utara/timur laut makam batu. Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud) berada di selatan/tenggara makam batu (Pangeran Ratoe Kesumaningrat). Terakhir, makam Panembahan Suryaningrat (Gusti Pandji) berada di selatan makam batu.

Dari pendataan yang kami lakukan di situs B tersebut, sedikitnya ada 4 tokoh penting di makam tersebut. Makam-makam penting di situs ini, sesuai dengan sketsa situs, dapat kami uraikan sebagai:

1)        Makam I, diduga kuat makam Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, Raja Simpang I, dengan diskripsi makam, yaitu: nisan batu andesit tipe gada; jarak antar nisan 1,39 meter, tinggi nisan 1,05 meter; diameter pangkal nisan 0,30 meter, lingkar tengah nisan 0,62 meter, diameter atas nisan 0,12 - 0,25 meter; makam berada di tengah-tengah cungkup dikelilingi pagar kayu 1,93 x 2,68 meter; berada di Situs B;

2)        Makam II, diduga kuat makam Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat), Raja Simpang III,  dengan diskripsi makam, yaitu: posisinya di arah utara atau timur laut Makam I, berjarak 1,60 meter; bernisan kayu belian yang sudah tua/keropos, di cat kuning; jarak antar nisan 1,05 meter, tinggi nisan kepala 0,75 meter dan kaki 0,70 meter; berada di Situs B;

3)        Makam III, diduga kuat makam Gusti Pandji (Panembahan Suryaningrat), Raja Simpang IV, dengan diskripsi makam, yaitu: posisi makam arah selatan Makam I, berjarak 1,56 meter; bernisan kayu belian yang sudah tua/keropos dan dikembar dengan nisan baru, di cat kuning; jarak antar nisan 1,20 meter, tinggi nisan kepala 1 meter dan kaki 0,84 meter; nisan telah 2 kali diganti; berada di Situs B;

4)        Makam IV, diduga makam Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suryaningrat), Raja Simpang II, dengan diskripsi makam, yaitu: posisi makam arah selatan atau tenggara Makam I, berjarak 1,05 meter dari Makam III; bernisan kayu belian yang sudah tua/keropos, di cat kuning; jarak antar nisan 0,90 meter, tinggi nisan kepala 0,64 meter dan kaki 0,64 meter; berada di Situs B;

5)        Situs C, terdapat juga nisan berbahan batu andesit tipe Singapura, dengan diskripsi sebagai berikut: berada di arah tenggara cungkup, berjarak 21,70 meter; bentuk nisan pipih bermotif, berwana natural (abu-abu); jarak antar nisan 0,80 meter; tinggi nisan 0,50 meter; berada di dalam rimbunan pepohonan; belum diketahui siapa yang bersemayam di makam tersebut;

6)        Situs D, dengan diskripsi sebagai berikut: berada di arah selatan Situs B, terdapat makam-makam dengan nisan kayu belian/ulin usia tua dan lapuk; jumlah makamnya lebih dari 5, yang tersebar hingga ke dalam hutan menuju ke arah istana (Situs F); belum diketahui siapa yang bersemayam di kuburan tersebut.


 

3.         Zona Istana dan Masjid (Situs E dan F)

Dalam rimbunnya hutan hujan di selatan zona makam atau situs B, kami masih menemukan potongan kayu belian/ulin yang sudah sangat lapuk dan aus. Ukurannya beragam, tidak menentu. Bahkan ada yang sudah membulat akibat pelapukan, mengikuti kontur urat kayu. Ada beberapa potongan kayu yang masih tertancap ditanah, dengan ujung yang sudah meruncing akibat pelapukan yang parah.

a.     Situs E (Eks Masjid Kerajaan Simpang Matan)

Melihat luasnya persebaran potongan kayu belian lapuk, dapat diduga bahwa material tersebut merupakan sisa tinggalan material masjid Kerajaan Simpang. Menancap ke tanah berjumlah 15 batang, sisanya sudah terbaring ditanah dengan kondisi lapuk parah. Dari 15 batang yang berdiri, tersisa 2 tiang berdiri dan 1 batang yang masih kelihatan utuh, berukuran 20 cm x 20 cm dengan tinggi lebih dari 6 meter. Tiga tiang telah tumbang dan satu telah dililit akar pohon besar. Sisanya berdiri menyerupai tongkat-tongkat masjid. Deretan tonggak-tonggak kayu belian tersebut, bila dilihat dari sudut arsitektur, arah yang jelas menghadap kiblat, dengan ukuran 11,50 x 12 meter.

Kumpulan data tonggak-tonggak kayu belian di atas, dapat disimpulkan sebagai Masjid Istana Kerajaan Simpang. Arahnya jelas menghadap ke kiblat. Selain itu, dipermukaan tanah masih hingga pinggir sungai, kita jumpai pecahan keramik dan tembikar yang berserakan disekitar  situs E dan situs F.

Dari tata letak tonggak-tonggak tiang/tongkat, sebenarnya bangunan ini lebar 12 meter dan panjang 12 meter. Namun yang teridentifikasi, lebar 12 meter dan panjang 11,50 meter. Dugaan kami, luas ini berubah karena penaguruh pergeseran tanah di situs ini. Sebab situs ini rentan tergerus atau bergeser, karena ativitas tongkang perusahaan. Dari identifikasi, bagian sudut kiri bekas masjid, sekitar 1 meter sudah berada di dalam sungai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada sketsa Situs E (Eks Masjid Kerajaan Simpang).

Selain itu, di sudut kiri atau di depan bekas masjid, tepatnya di pinggir sungai, ditemukan susunan bata merah. Ukuran dan corak bata ini cukup beragam. Adapun ukuran bata merah yang ditemukan, yaitu:

1)        Ukuran 16 x 12 x 3 cm;

2)        Ukuran 20 x 12 x 4 cm;

3)        Ukran 17 x 15 x 3,5 cm;

4)        Ukuran 15,5 x 10 x 5 cm; dan

5)        Ukuran 15 x 15 x 5,5 cm.

 


b.    Situs F (Eks Istana Simpang)

Berjarak sekitar 80 meter dari situs E (masjid), atau sekitar 90 meter dari situs B (makam-makam utama), terdapat bekas istana Kerajaan Simpang. Puing-puing yang tersisa di situs ini, yaitu 2 tiang masih berdiri tidak utuh lagi, sekitar 4 meter dari pinggir sungai. Kemudian, ada 3 tiang yang terbaring/tumbang, 1 dari 3 tiang ini terbenam dalam tanah. Dan puing yang masih berdiri ini, diduga bekas tingkat istana. Puing yang ada di bekas istana ini, sisa 6 batang saja.

Tiang bekas istana yang masih tampak berdiri kendati tidak utuh, ukurannya 0,20 x 0,20 meter. Terdapat 2 lobang bekas pahatan, diduga bekas lobang balok kep dan lobang laci. Ukuran lobang balok kep dan lobang laci ini, yaitu lebar 0,08 meter dan tinggi 0,20 meter. Jarak lobang balok kep dari tanah, yaitu 1,80 meter. Sedangkan jarak antara lobang balok kep ke lobang laci 1,37 meter. Dugaan kami, terjadi penyusutan tanah, sehingga jarak lobang balok kep ke tanah menjadi 1,80 meter, seharusnya sekitar 1,00 - 1,25 meter saja.

 



4.         Zona Eks Permukiman Lama

Zona eks (bekas) permukiman lama tersebut berada ditepian Sungai Simpang ke Matan, dan Sungai Simpang ke Sungai Baye (Lubuk Batu). Permukiman lama ini berada di sekitar istana Kerajaan Simpang Matan, dan di hulu Sungai Matan dan Lubuk Batu.

Kita saksikan hari ini kampung lama tersebut, di pinggir sungainya telah menjadi hutan. Sedangkan di daratnya telah menjadi perkebunan sawit, hanya  sedikit lagi kawasan situs yang tersisa. Sementara, arah selatan istana atau seberang Sungai Matan, telah menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Palung.



Sejarah Singkat  Kerajaan Simpang Matan

Kerajaan dengan nama Simpang, atau yang biasa disebut Simpang Matan, telah wujud sejak tahun 1744, oleh Pangeran Ratoe Agoeng Kesumaningrat. Wilayahnya saat ini membentang dari Kecamatan Simpang Hilir, Teluk Batang, Pulau Maya dan Kecamatan Seponti Kabupaten Kayong Utara. Juga mencakupi Kecamatan Simpang Dua, Simpang Hulu, Balai Berkuak, Kecamatan Sungai Laur Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Kerajaan ini dinamai Simpang karena berada di persimpangan dua sungai. Salah satunya adalah sungai Matan, yang mengalir di cabang kanan, sedangkan cabang kiri adalah Sungai Sidiaw, yang saat ini dikenal sebagai Sungai Lubuk Batu.

Dilihat dari isi surat pada 10 September 1886, menjelaskan mengenai tapal batas secara rinci, antara Kerajaan Simpang Matan dengan Kerajaan Meliau (sekarang Tayan). Dalam surat tersebut, diceritakan bahwa Raja Simpang, Panembahan Surya Ningrat (Gusti Pandji) dan Raja Meliau Pangeran Ratoe Moeda Pakoe, masing-masing membawa para menteri, untuk menjadi  saksi secara langsung.

Jika membandingkan antara surat perjanjian tapal batas dan peta Kerajaan yang dibuat pada tahun 1893, dapat dilihat bahwa lokasi yang disebutkan dalam surat tersebut sama persis. Hal ini menunjukkan seberapa luas dan berdaulatnya Kerajaan Simpang pada masa itu. Surat tersebut bersumber dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang diinventarisasi oleh Yusri Darmadi. Kemudian, Yusri Darmadi menyerahkannya kepada Isnadi untuk keperluan arsip Kerajaan Simpang Matan. Surat tersebut diterjemahkan oleh Joko Duwi Santoso, seorang pembaca naskah Arab-Melayu.

Kerajaan Simpang telah pula membangun corak budaya sendiri. Sehingga mereka yang berdiam di wilayah ini sering disebut Orang Simpang. Orang Simpang adalah sebuah entitas etnis budaya. Entitas budaya yang tumbuh dan berkembang, dengan corak budaya yang mempunyai karakteristik sendiri. Dominasi suku Melayu, dengan imbuhan suku Dayak, Jawa, Bugis Tionghua dan lain lain, menjadikan Orang Simpang sebagai Suku Melayu yang sangat beragam.

1.      Kerajaan Simpang dalam Catatan Manuskrip

Menurut catatan Von de Wall pada tahun 1862, pendiri Kerajaan Simpang adalah Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, yang merupakan anak dari Meruhum Ratu bin Sultan Zainuddin. Sultan Zainuddin adalah Raja Kesultanan Matan yang memiliki dua orang putra. Putra pertama adalah Merhum Ratu, sedangkan putra kedua adalah Pangeran Mangkurat (Sultan Aliuddin).

Pangeran Agung Ratoe Kesumaningrat menikah dengan Ratu Bunga, putri Sultan Muazzidin, yang merupakan penguasa di Indralaya (Sandai). Sultan Muazzidin juga dikenal sebagai Marhum Negeri Laya, yang sekarang dikenal dengan nama Sandai.

Dalam tahun 1822, George Muller dan rekannya pernah datang ke Borneo. Mereka didampingi oleh Raja Akil dari Sukadana dan Uwan Hassan, yang merupakan utusan dari Pontianak. George Muller mencatat bahwa Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat meninggal pada usia yang sangat tua, yaitu pada tahun 1814. Beliau dimakamkan di belakang keraton Kerajaan Simpang.

Pada masa Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud), yang merupakan pewaris tahta Kerajaan Simpang dan putra dari Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, Belanda datang sebagai penjajah. Kedatangan mereka bertujuan untuk melakukan kontrak pertama yang ditanda tangani pada tanggal 23 November 1823. Dalam kontrak tersebut, Belanda meminjam tanah di Sukadana untuk mendirikan kantor Loji dengan maksud untuk memberantas lanun atau bajak laut.

Letak Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan kuno. Gorge Muller menyebut, bahwa dari Simpang menuju ke Matan hanya setengah hari perjalanan. Muller juga menyebutkan bahwa kota Matan telah lama ditinggalkan dan dalam kondisi yang bobrok. Hanya tersisa puing-puing sisa peradaban, serta makam-makam tua baik di Matan maupun di Sekusur.

Berikut adalah data penduduk Kerajaan Simpang pada tahun 1822 dimasa pemerintahan Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud):

 


Terjemahan :

350                  sampai                        380                  Melayu

30                    sampai                        40                    Bugis

4                      sampai                        5                      Arab

80                    sampai                        90                    Budak

25                    sampai                        30                    China

 

Diatas adalah orang-orang yang berdiam di Simpang

 

250                  sampai                        300                  Berdiam di Anak anak Sungai,

                                                                            Bukit dengan bertani.

50                    sampai                        60                    Bediam Meliau (Mulia/ desa                                                                                                             Harapan Mulia dan rantau                                                                                                                 panjang hari ini ) 

100                  sampai                        120                  Perampok di perairan

3.000               sampai                        3.600               Orang Dayak

3.889               sampai                        4.930               Orang dewasa, atau bersama-

                                                                            sama dari 16 hingga 18.000

                                                                            jiwa.

 

Pada tahun 1835 H. Von De Wall, pejabat setingkat asisten riseiden yang bertugas di Sukadana, mencatat rumah penduduk di Kerajaan Simpang berdasarkan kelompok suku diantaranya :

Terjemahan :

Keadaan orang Dayak di Simpang

 

Nama Disktrik

Nomor Desa

Nomor

Jiwa

Lawang Agoeng

Lawang secara keseluruhan

Kualan Hulu

5

25

75

450

Kualan Hilir

3

25

75

450

Semandang kiri

4

15

45

270

Semandang Kanan

3

15

45

270

Gerai - Mantuk

2

7

21

126

Baye – Kambera

2

4

12

72

Laur

1

3

9

54

Total

20

94

282

1692

 

Keadaan orang Melayu di Simpang.

NAMA KAMPUNG

JUMLAH RUMAH TANGGA

Jiwa

 

Mambal (orang Bukit)

Siring ( Orang Pantai)

Kaum

Prijai

Orang Boemi

Oelor

Total

Simpang

 

 

 

 

 

 

62

350

di bawah ini adalah 42 jiwa di dalem panembahan

Mungguk Jering

9

 

 

 

 

 

9

45

Kumpang

5

 

 

 

 

 

5

25

Tambang Amok

3

 

 

 

 

 

7

35

Koman

15

 

 

 

 

 

15

75

Sungai Rasau

 

10

 

 

 

 

10

50

Matan

 

 

 

 

4

 

4

20

Palah

 

 

 

 

4

 

4

20

Berkuwak

 

 

 

 

 

 

25

125

Semberak

 

 

 

 

 

 

5

25

Kirompe

 

 

 

 

 

 

7

35

Kelebambang

 

 

 

 

 

 

6

21

Total

 

 

 

 

 

 

158

826

 

 


  

Terjemahan

Perkiraan perhitungan penghasilan den panembahan simpang, yang dihasilkan dari pajak tetap penduduk dalam satu tahun yang menguntungkan, yaitu: bila semua penghasilan tetap wajib pajak

Nama pajak

Jumlah pajak

Nilai rata-rata pajak di ibukota

Nilai rata-rata emas untuk serah dan pajuhandal   hasil murni

Perak di benggala

Komentar

 

Beras

Lilin mentah

Minyak tengkawang

 

Kano

 

Peti Orang Dayak

Gant

kati

Kati

Stuk

 

 

F 312,60

 

 

F -

 

 

F 312,60

perak kasar kehilangan paling banyak 25 persen

 

barang dagangan pajoer di danau utama 4 setengah duit per gantung raja

 

6 duit untuk perdagangan pembayar

1875

 

 

 

penoedjoe orang dayak

50

 

 

 

8,40

 

8,40

pepantji  dayak

45

 

 

 

7,60

 

7,60

mencuci  dayak

 

188

 

 

112,96

 

112,96

minyak tengkawang

dari suku dayak

 

 

658

 

52,77

 

52,77

praauw  dayak

 

 

 

7

112

 

112

serah berdagang dengan orang dayak

 

 

 

 

396,80

90

306,80

Pajoe handal  Dayak

 

 

 

 

198,40

60

138,40

bukit orang kabaharoean

 

 

 

 

5,40

 

 

 

5,40

 

perdagangan serah dengan orang bukit

 

 

 

 

96

21,60

74,60

Pajoe handal orang bukit

 

 

 

 

96

28,96

67,24

Total

 

 

 

 

 

 

f 1197,97

 

Nama nama kampung yang berada di ibukota Kerajaan simpang pada tahun 1822 dibagi menjadi beberapa kampung seperti yang tertera dalam manuskrip berikut ini:

 


Terjemahan

         - Di sungai Simpang dan Sidiau

Kampung BLITANG                  di bawah pimpinan                 ENTJE AMAT.

Kampong MAYANG     di bawah pimpinan                             KIAI SOUTE NEGARA.

Kampung PRIAI                       di bawah pimpinan                 RADEN TJITRA

-       Di sungai Sidiau dan Matan

Kampong RAJA                        di bawah pimpinan                 RADEN SORYANSOE

Kampong DALAM                    di bawah pimpinan                 PANGERA DIPATIE

Kampong KAUM                      di bawah pimpinan                 KATIP DALAM

Kampung SAMPIT                   di bawah pimpinan                 KIAI SOERIE PATIE

Kampung BUGIS                      di bawah pimpinan                 PADOU RAJAN

Kampong SOURIT                    di bawah pimpinan                 KIAI SUDANAH

-       Di sungai Simpang

Kampung BANJAR                   di bawah pimpinan                 ENTJE LIAS

Kampong CHINA                     di bawah pimpinan                 KATIP LINGSIE

 

Pada tahun 1894, pada masa pemerintahan Panembahan Suryaningrat / Gusti Pandji, Kerajaan Simpang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:



Terjemahan :

1.      Kualan (hulu dan hilir) khususnya dikelola langsung oleh Panembahan dibantu oleh Pangeran Ratoe ;

2.      Semandang kiri dikelola oleh Raden Djaja Kesoema, yakni putra ketiga Panembahan;

3.      Gerai-Mantuk, adalah dua kampung utama Dayak, ditugaskan kepada Oeti Redjoena (Pangeran Mangkoe Boemi), saudara muda dari Panembahan untuk mengelolanya;

4.      Bukang-Banjoer, dua kampung ini ditugaskan untuk Pangeran Kesoema Joeda (putra kedua Panembahan) untuk mengelolanya.

5.      Baje, ditugaskan Raden Bahasan.

6.      Kembëra, ditugaskan Oeti Idris (Raden Soema)

7.      Koman, ditugaskan Goesti Umar, keponakan Panembahan.

 

Pendiri keraton dan Kerajaaan Simpang Matan pertama, yaitu Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, 1744. Kemudian pada 1815, Kerajaan tersebut dibangun kembali oleh Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud). Tahta dilanjutkan putra mahkota, Panembahan Kesumaningrat (Gusti Muhammad Roem) 1845 - 1874. Tahta berlanjut ke Panembahan Suryaningrat (Gusti Pandji), 1874 - 1911.

2.      Perpindahan Ibu Kota Kerajaan 

Pada tahun 1911 hingga 1915, Kerajaan Simpang terlibat dalam Perang Belangkaet dengan Belanda. Kondisi ini menyebabkan ibu kota Kerajaan berpindah dari Simpang Keramat ke arah hilir, yaitu Teluk Melano. Pada periode ini, Kerajaan Simpang diperintah oleh Panembahan Gusti Roem dari tahun 1911 hingga 1942, dan kemudian dilanjutkan oleh putra mahkota, Panembahan Gusti Mesir, dari tahun 1942 hingga 1943.

Pada masa pendudukan Jepang, Panembahan Gusti Roem dan Panembahan Gusti Mesir, ditangkap bersama kerabat Kerajaan dan masyarakat biasa lainnya, yang ikut menjadi korban fasisme Jepang di Mandor.

Sementara pemerintahan Kerajaan kosong, maka tahta diisi oleh mangkubumi, saat itu dijabat Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjadi raja sementara (Mangkubumi) dari 1943 - 1956. Kemudian sejak 1956 hingga 2007 terjadi kekosongan tahta. Tahun 1957 Kalimantan Barat mekar menjadi provinsi sendiri. Dimungkinkan, secara otomatis raja-raja di Kalbar domisioner dan nonaktif dari jabatannya.

Di Kerajaan Simpang khususnya, dari tahun 1956/1957 hingga 2008, tak ada raja yang bertahta. Demi kepentingan menjaga kebudayaan, dan untuk eksistensi Kerajaan Simpang yang pernah jaya dimasa lampau, pada tahun 2008, Drs. H. Gusti Muhammad Mulia dilantik sebagai penerus tahta Kerajaan Simpang, yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II sebagai Raja Simpang Matan VII. Beliau wafat pada tahun 2017. Pada tahun 2018, tahta Kerajaan Simpang diteruskan oleh putra mahkota, Gusti Muhammad Hukma, S.E.

Pada saat ibu kota berpindah ke Teluk Melano pada tahun 1911, Keraton Simpang yang lama ditinggalkan. Hingga akhir hayatnya, Gusti Pandji dan pengikut setianya tetap tinggal di Keraton Simpang tua. Setelah Gusti Pandji wafat, keraton tersebut menjadi tidak terawat. Secara perlahan, penduduk mulai bermigrasi dari pusat kota pertama Kerajaan Simpang Matan, menuju ke arah hilir atau hulu sungai. Akibatnya, kota Simpang yang lama akhirnya ditinggalkan.

3.      Kerajaan Simpang Matan Pasca Kemerdekaan

Yang tersisa saat ini dari Kerajaan Simpang Matan hanya puing-puing bekas keraton, bekas masjid, dan makam-makam. Kondisi bekas keraton dan masjid yang masih ada saat ini adalah 8 tongkat/tiang kayu belian dengan ukuran 30 x 30 meter dan panjang 8 - 10 meter.

Sementara itu, keraton yang berada di Teluk Melano, sebagai bukti pusat pemerintahan terakhir Kerajaan Simpang Matan, nasibnya tidak jauh berbeda dengan keraton Simpang Keramat, Matan tua, dan Sukadana tua.

Penyebabnya, apakah karena kekosongan tahta sejak 1956 hingga 2007? Apakah akibat Gusti Roem dan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang? Atau kerena meninggalnya Mangkubumi Gusti Mahmud, dan Kerajaan telah melebur ke NKRI? Ataukah karena faktor lain yang membuat keberadaan Keraton Kerajaan Simpang Matan di Teluk Melano tidak terlihat lagi? Wallahu a’lamu.

Puncaknya, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 9) sebagai undang-undang, semua swapraja/Kerajaan, khususnya di Kalimantan Barat, telah melebur dan menyatu menjadi bagian dari NKRI. Berdasarkan undang-undang tersebut, Kerajaan Simpang juga menyatakan bergabung dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kawasan eks Keraton Simpang di Teluk Melano, telah banyak menjadi fasilitas umum, termasuk sekolah SMPN 01 Simpang Hilir, SDN 01, dan Pasar Melano. Jalan yang menuju Jembatan Teluk Melano, yang dulunya merupakan bagian dari aset Kerajaan, kini telah menjadi jalan raya.

Kedudukan keraton Simpang di Telok Melano dulu, kini telah dibangun kantor Pos. Semua  wilayah kekuasaan  dan sebagian aset Kerajaan Simpang Matan (tanah), secara otomatis di ambil alih Pemerinth Republik Indonesia. Tidak ada hitam putihnya mengambil alih aet aset Kerajaan tersebut, hingga sekarang.

Saat pelantikan Raja Simpang Matan VII pada tahun 2008, Drs. H. Gusti Muhammad Mulia menyatakan bahwa para ahli waris Kerajaan kini tidak memiliki peninggalan Keraton. "Kami sekarang tidak memiliki apa-apa lagi. Jangankan keraton, tanah pun kami tak punya," ucap Gusti Muhammad Mulia dengan perasaan sedih, saat memberikan sambutan pasca acara pelantikan.

Merujuk pada sumber-sumber catatan dan literatur yang ada, berikut kami sajikan raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Simpang Matan, sebagai berikut:

Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat   (1744 – 1814)

Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat  (1814 – 1845)

Gusti Muhammad Roem,  bergelar Panembahan Kesumaningrat (1845 – 1874)

Gusti Pandji, bergelar Panembahan Suryaningrat (1874 – 1911), wafat 1917

Gusti Roem, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat  (1911 – 1942)

Gusti Mesir, bergelar Panembahan Gusti Mesir  (1942 – 1943)

Gusti Mahmud, jabatan Mangkubumi (1943 - 1956)

Gusti Ibrahim, Raja Sehari (2008)

Gusti Muhammad Mulia, bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II (2008 – 2017)

Gusti Muhammad Hukma,  bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin III (2018 – sekarang).

 

 


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

  • ()
  • ()
Tampilkan selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.

Kontributor

Blogger templates