Silahkan klik gambar dan unduh hasil riset kami dalam bentuk PDF untuk melihatnya.
Silahkan Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui perkembangan penelitian kami, sebab hingga saat ini kami masih melakukan penelusuran.
Jejak Makam Ratu
Soraya, Istri Sultan Tengah Dari Brunei Di Sukadana
Oleh: Tim riset Lembaga
Simpang Mandiri di bawah mandat Kerajaan
Simpang matan Tahun 2020
A.
PIJAKAN DASAR
Misi
pencarian makam Putri Surya Kesuma atau Ratu Soraya adalah bagian yang penting
dari sejarah kesultanan Brunei, sebab Ratu Soraya adalah istri dari Sultan Tengah
bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah
yang berasal dari kesultanan Brunei yang kelak dikemudian hari juga menurunkan Raja
raja sambas hingga hari ini.
Bermula
dari penemuan Makam Sultan Tengah di Gunung Sentubong Serawak Malaysia pada
tahun 1993. Penemuan itupun ditindak lanjuti oleh pusat Sejarah Kesultanan
Brunei dengan serius, sehingga pada saat ini makam tersebut dibangun dengan begitu
megahnya.
Karena
makam Sultan Tengah telah ditemukan, maka misi dari pusat sejarah Kesultnanan Brunei
adalah mancari makam isterinya yakni Ratu Soraya atau Putri Surya Kesuma yang
merupakan putri dari Raja Tanjung Pura era Sukadana dari Pasangan Giri Kesuma
atau Sultan Muhammad Tajudin dengan Putri Bunku atau Ratu Mas Jaintan.
Ratu Soraya adalah bungsu dari 2 bersaudara, saudaranya yang paling tua adalah Giri Mustika yang menjadi penerus ayahandanya dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin, dimana gelar ini dikemduian hari diberikan pada cucu keponakannya dari pasangan Ratu Soraya dengan sultan tengah yakni Raden Sulaiman yang menjadi Raja Sambas pertama dengan corak Islam.
Manuskrip Raja Ali Haji Yang Mengisahkan Asal Usul Sultan
Sambas Pertama
B.
KEDATANGAN ROMBONGAN BRUNEI 2005
Pencarian
makam Ratu Soraya ini dilakukan dengan serius oleh Pusat Sejarah Kesultanan
Brunei Pada tahun 2005 dan tahun
2006. rombongan dari Brunei tersebut
melakukan lawatan ke beberapa kerajaan yang ada di Kalimantan termasuk Sukadana, guna mencari keberadaan makam Ratu
Soraya serta mentelaah lebih jauh hubung kait silsilah kekeluargaan dengan
kerajaan lain.
Pada
masa kedatangan rombongan dari Brunei tersebut dituturkan oleh beberapa saksi
hidup yang mendampingi. Salah satunya yakni Tengku Mochtar ia merupakan perwakilan
tokoh masyarakat asal Sukadana.
Rombongan Brunei sedang berdialog bersama Tengku Mochtar
meneliti makam Gunung Lalang pada tahun 2005 ( sumber Dokumentasi Pusat penelitian Sejarah Brunei )
Saat
kami temui di rumahnya pada 1 Februari 2019, Tengku Mochtar yang sudah berusia
86 tahun, atau akrab disapa Ayah Tar mengisahkan apabila rombongan Brunei pada masa
itu sempat beberapa hari menginap di Sukadana, untuk melakukan penelitian hubungan
kerajaan Sukadana dan Brunei dimasa itu. dengan membawa peralatan lengkap serta
peniliti bahkan cenayang (paranormal) untuk mencari lokasi makam Ratu Soraya dimasa
itu.
Atas
informasi Pak Unggal Nan salah seorang masyarakat Desa Harapan Mulia mengenai
makam keramat di atas Gunung Lalang. Maka rombongan kesultanan Brunei tersebut pergi ke
makam Gunung Lalang, lalu kemudian
menuju makam Panembahan Ayer Mala di Tambak Rawang serta ziarah kemakam bersejarah lainnya di sukadana.
Setelah
usai dari lawatan tahun 2006 tersebut, rombongan dari Brunei itu tidak pernah
lagi datang ke Sukadana, namun mereka pernah berpesan pada masyarakat, salah
satunya pada Pak Imam Norman yang pada masa itu sebagai penyambut tamu dengan
membacakan syair gulung. pesan yang masih diingat Pak Imam adalah apabila suatu
saat menemukan makam tua yang dicurigai sebagai makam Ratu Soraya untuk dapat
dikonformasi kepada pihak rombongan Brunei tersebut.
Sedangkan
menurut keterangan salah seorang warga
di Desa Harapan Mulia, pada masa itu sebagai kepala desanya adalah
Almarhum Awi. Sebagaimana dituturkan kembali oleh anaknya bernama Sandi Sugiarno
bahwa rombongan Brunei pada masa itu; setelah lawatan kebeberapa makam, termasuk
Gunung Lalang dan Ayer Mala, dimalam harinya saat mereka berunding dikediaman
rumah Camat Sukadana pada masa itu yaitu Amrullah. Hasil perundingan sementara adalah bahwa makam makam yang mereka datangi
pada saat itu bukanlah makam yang dicari.
Lalu
yang menjadi misteri dan pertanyaan jika memang yang didatangi oleh rombongan Brunei bukanlah makam Ratu Soraya, maka
dimanakah letak makam itu sebenarnya ?.
Dalam
hal ini kami mengemukakan dua teori, ataupun dugaan mengenai keberadaan makam Ratu
Soraya. Yang pertama dilokasi Tambak Rawang Sukadana, yang ke dua di Desa Matan
Jaya Kecamatan Simpang Hilir. Berikut kajian dan ulasannya, namun tentunya hal
ini masih harus perlu di uji kembali dengan penelitian yang serius dengan
melibatkan para ahli.
C.
SEJARAH KEDATANGAN SULTAN TENGAH DAN
PERNIKAHAN DI SUKADANA
Saat
itu Sultan tengah mengarungi lautan luas dengan cuaca yang buruk sehingga
terdamparlah ia di Tanjung Pura Sukadana pada sekitar tahun 1631 Masehi. Giri
Mustika dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin pada masa itu menjabat sebagai
rajanya.
Dimasa
Giri Mustika ini kesultanan Matan juga sudah dimulai dengan persiapan
perpindahan ibu kota dari Mulia ke Sungai Matan, yang kelak tahta Matan akan diberikan
pada cucunya yakni Gusti Zakar negara bergelar Sultan Muahammad Zainuddin.
Setelah
beberapa saat lamanya Sultan Tengah di negeri Sukadana, maka menikahlah ia
dengan Putri Surya Kesuma atau Ratu Soraya yakni adik dari Giri Mustika bergelar
sultan Muhammad Syaifiuddin. Karena ayahnya sudah mangkat, maka Giri Mustika yang
bertindak sebagai wali menikahkan raja tengah dengan Putri Surya Kesuma.
Hasil
dari buah pernikahan tersebut lahirlah 5 orang anak yakni Raden Sulaiman yang lahir di Sukadana tepatnya daerah Mulia, Kemudian Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi.
Setelah
sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana Sultan Tengah lalu berpindah ke
Sungai Sambas Pada tahun 1638. Maka
berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan
menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan senjata dari Kesultanan Sukadana
menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas.
Makam Sultan Tengah Di Sentubong ( Sumber : Dok: Pusat
Sejarah Brunei)
Selanjutnya
Sultan Tengah
memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang telah lama di
tinggalkan. Maka kemudian berangkatlah Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri
Surya Kesuma dan keempat adik dari Raden
Sulaiman pada tahun 1652 Masehi.
Namun
dalam perjalanan di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba
Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, maka wafatlah Sultan
tengah dan dimakamkan dilereng Gunung Sentubong. Adapun istrinya yakni Ratu Soraya memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Tanjung
Pura Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Sampai di sini cukuplah perjalan sejarah untuk dapat mengkaji dimanakah makam
ratu Soraya.
D.
DUGAAN MAKAM RATU SORAYA DI SUKADANA
Berdasarkan
dari kronik perjalanan sejarah tersebut
dugaan yang pertama bahwa Ratu Soraya dimakamkan di Sukadana tepatnya di
Desa Gunung Sembilan. Memang ada satu Nisan yang di curigai sebagai makam ratu Soraya, bahkan sudah ada plang
nama didepannya.
Namun sayangnya hingga saat ini masih belum ada penelitian khusus mengenai makam yang di duga adalah makam Ratu Soraya tersebut. Dugaan kuat memang mengarah ke makam Ratu Soraya sebab alasanya adalah, orang yang dimakamkan di atas bukit bukanlah orang biasa, dan jika dilihat dari batu nisan padat tampaknya juga bukan orang sembarangan yang dimakamkan pada masa itu.
Makam
Soraya ini ada dilereng bukit tepi laut Teluk Sukadana, dari makam yang diduga
adalah pusara Ratu Soraya ini terlihat Masjid Usman Alkhoir serta landscape
yang indah dari atas. Menurut penuturan masyarakat pada masa lalu di nisan batu
ini pernah ada hurf araf jawi bertuliskan nama yang sudah kabur.
Jika
memang Ratu Soraya dimakamkan disini masih masuk akal sebab abangnya yang masih
memerintah saat itu yakni Sultan
Muhammad Syafiuddin atau Giri Mustika yang meninggal pada tahun 1677 masehi dan
dimakamkan di bukit laut belakang mulia saat ini.
Namun
memang ada catatan penitng untuk dilakukan kajian, bahwa apabila Ratu Soraya dimakamkan
di Sukadana mengapa tidak dimakamkan di dekat abangnya yang pada saat itu
memerintah negeri sukadana dengan pusat kerajaannya yang ada di Mulia. Kemudian yang berikutnya pada
era tahun 1652 yakni setelah kemangkatan suaminya, Pusat kota raja berpindah ke
Sungai Matan. Namun demikian mengenai dugaan makam ini perlu diuji kembali
kebenarnnya.
Ukuran makam diduga Ratu Soraya ini panjang 1,90 meter dan lebar 80 cm. Yaitu
merupakan ruang yang disisakan sebagai tempat nisan, tidak di semen atau di
pasang keramik. Lebar cungkup 6 x 6 meter dengan tinggi 2,93 meter. Nisan
berbahan batu andesit, tipe Singapura abad ke-19. Tinggi nisan 65 cm dan lebar 20 cm.
Dari sisi
arkheologis pun, keberadaan makam Ratu Soraya di
Tambak Rawang, tepatnya di bukit yang menghadap ke Teluk Sukadana masih diragukan. Sebab, berdasarkan dari hasil pengamatan dan perabaan, batu nisan yang ada di makam tersebut, merupakan bertipe nisan tipe Singapura. Tipe ini tren dipakai pada
abad 19 Masehi.
Sedangkan dari
sisi kesejarahan, Ratu Soraya hidup
pada abad ke -17, di masa raja Panembahan Sorgi (Sultan Muhammad Tajudin), yang merupakan ayahandanya. Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Mas Jaintan dan Giri Mustika (Sultan Muhammad Tsafiuddin), yang meninggal tahun 1677 M.
Menurut Sejarawan setempat, yaitu Imam Norman, bahwa dahulunya makam tersebut sering
disebut sebagai makam Mak Timbang. Setelah
rombongan Brunei pulang, penyebutan warga berubah jadi makam Ratu Soraya. Padahal penelitian robongan Brunei di makam Gunung Lalang dan Panembahan
Ayer Mala Sukadana, tidak menyimpulkan Ratu
Soraya. Tetapi dicurigai beberapa warga sebagai makam Ratu Soraya.
E.
DUGAAN MAKAM RATU SORAYA DI MATAN
Dugaan
yang ke dua Ratu Soraya di makamkan di Matan. Dugaan ini memiliki beberapa
argumen penting diantaranya adalah; setelah suami Ratu soraya yakni Sultan Tengah wafat pada tahun 1657 di Sentubong (Serawak), maka Ratu
Soraya kembali ke Sukadana. Pada era tahun tersebut yang memerintah adalah Giri
Mustika / Sultan Muhammad Syafiuddien yang merupakan abangnya sendiri.
Pada Giri Mustika memerintah, pemerintahan
sudah berpindah ke Sungai Mulia dan kota rajanya berpusat di Sungai Matan yang
selanjutnya disebut Kesultanan Matan. Dugaanya bahwa Ratu Soraya juga ikut berpindah dan bermukim di Matan
dan wafat di sana, Sedangkan abangnya kemduian meninggal di tahun 1677 M, dan
di makamkan di belakng Mulia di atas bukit laut. Georg Muller
Tentang
dugaan makam Ratu Soraya di Matan, hal ini diperkuat dengan adanya temuan makam
brtype aceh pada tahun 2014. Makam tersebut menurut para ahli dari Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, yang sudah meneteliti pada tahun 2018 adalah keluaran abad ke 17 (jurnal LPA Pemukiman Tanjujungpura 2018
Halaman 32 ). Makam tersebut berada di atas bukit kecil di Matan, tidak jau
dari makam Sayyid Kubro dan Raja raja Matan yakni Sultan Mangkurat dan Meruhum
ratu.
Kondisi Situs Makam Tipe Nisan Aceh diatas bukit Matan (sumber
Dok : BPCB Kaltim)
Ada dua nisan sepesial diatas bukit
tersebut satu bertype Aceh, dan satu berbentuk batu serta beberapa yang lain diduga
juga sudah mengalami kerusakan karena sekian ratus tahun didalam hutan tak
terawat.
Pemakaman
ini berada di atas bukit dengan ketinggian 6 meter dari permukaan jalan. Secara
astronomis keletakkannya pada S 1 6 12.4 dan E 110 12 22.9. Pada bagian luar
pemakaman diberi pagar pembatas dari kayu yang mengelilinginya. Semak dan
ilalang menutupi permukaan tanah di luar pagar tersebut. Di sebelah barat daya
kaki bukit tempat pemakaman ini terdapat Sungai Matan. Informasi dari Bapak M.
Resin, apabila musim kemarau dan air di sungai tersebut mulai surut, tampak
pecahan keramik tersebar di tepi sungai
Untuk
menguatkan dugaan bahwa ini makam Ratu Soraya adalah berdasarkan informasi
jika pada tahun 2016 di sambas juga ditemukan
makam bertype aceh yang diduga masih
kerabat dengan Raden Sulaiman. Nisan ini benar benar mirip, dan uniknya dua
nisan ini jika dilihat dari coraknya
hampir satu masa.Serta yang paling penting adalah nisan dari Raja tengah di
sentubong sendiri juga bertype Aceh walau dengan corak yang berbeda.
Maka
ada dugaaan bahwa nisan Aceh yang mirip seperti
Sambas dan sukadana tersebut , di produksi sezaman. Kebetulan juga satu masa
dengan Raden Sulaiman saat menjadi sultan sambas. Dugaanya Ia mengkhususkan
nisan tersebut, karena memang orang terdekat dengannya, Yakni Ayah, Ibu dan
Datok sebelah isterinya.
Di
duga Pada saat Raden Sulaiman menjadi raja sambas ia menitipklan nisan ibunya itu pada Raden Bima yang
pergi ke Matan dan menikah dengan adik
bungsu Sultan Zainuddin Raja Matan yakni Putri Indra kesuma, dan lahirlah
seorang anak laki laki dengan nama raden Mulia atau Raden Milan. Kelak Raden
Milan ini kemudian menjadi Raja Sambas ketiga.
Tampaknya
batu nisan yang dibawa Raden Bima untuk neneknya yakni Ratu Soraya tersebut
sebelumnya sudah dipesan bersamaan
dengan nisan yang diperuntukkan bagi
kakeknya yang berada di sentubong dan moyang sebelah Ibunya di Sambas.
Hal ini dapat diartikan, walau mereka berbeda tahun meninggalnya namun eranya
sama, sehingga dalam waktu tertentu Raden sulaiman menggantgi nisannya secara
serempak.
Namun
kembali lagi pada dugaan dan spekulasi yang ada hanyalah sebuah teori sementara
yang tidak patut untuk di percayai sepenuhnya, akan tetapi hal ini menjadi tapak penilitian lebih lanjut
mengenai kebenaran dimanakah makam Ratu Surya Kesuma, apakah di Matan atau di Sukadana.
F.
PEMAHAMAN TENTANG GUNUNG LALANG YANG
DI DATANGI OLEH ROMBONGAN BRUNEI PADA TAHUN 2005 DI SUKADANA
Di
sisi yang lain tentang Gunung Lalang yang pernah di datangi oleh romboangan
dari Brunei pada tahun 2005 dan tahun 2006.
Hari ini kita berjumpa dengan manuskrip dan fakta fakta baru khususnya
mengenai keberadaan Gunung Lalang, yang merupakan bagian dari gugusan bukit
laut. Dimasa itu bukit laut adalah makam
Raja raja Tanjung Pura era Sukadana.
Dalam
beberapa mansukrip yang bersumber dari catatan Eropa seperti Pj Vert, Gorg Muller
, Von De Wall serta Kitab Silsilah Raja Melayu dan Bugis Karya Raja Ali Haji.
Beberapa di antaranya jelas tertulis bahwa Sultam Muhammad Syafiuddin di
makamkan di atas bukit laut, dan secara spesifik Panembahan Baroh, yang
bergelar Sultan Mustafa Izzudin yang merupakan kakek dari Giri Mustika juga di
makamkan di tempat tersebut.
Untuk
Sementara bisa di simpulkan bahwa makam di atas Gunung Lalang itu merupakan makam Raja Tanjung Pura di abad ke
16 dan 17. Adapun nisan saat ini sudah baru yang di ganti dengan semen, namun petunjuk
yang tidak bisa terbantahkan adalah bata merah yang masih ada dan di duga pada
masa itu di jadikan tambak makam.
Makam Panembahan Dibaroh dan Panembahan Giri Mustika Di
Atas Gunung Lalang yang memprihatinkan
Jika
tambaknya berbata merah maka nisannnya dimungkinkan juga batu bukan terbuat
dari kayu, alasannya adalah apabila tambaknya saja mampu membuat sedemikian
rupa dengan bata merah yang pada masa itu termasuk langka dan istimewa maka
demikian pula dengan nisannya yang pasti setara dengan tambaknya.
Demikian pembahasan ini lebih kuranganya
mohon maaf dan mohon UNTUK di adakan riset lebih lanjut terima kasih .
TIM PENYUSUN :
1.
ISYA FACHRUDI
2.
MIFTAHUL HUDA
3.
M. RIDLO
SUMBER :
buku CL Blume
, G Muller , De Wall. Pj Vert,
Raja Ali Haji ( Silsilah raja melayu Dan
bugis )
Dan Riset lapangan yang kami lakukan dari
tahun 2018 hingga tahun 2021
0 komentar:
Posting Komentar