“Kenapa Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Kayong Utara (TACB) kok bongkar bongkar kubur ?”. begitulah salah satu pertanyaan yang menggelitik. Walaupun bahasa bongkar kubur itu berkonotasi negatif, sebab yang di lakukan TACB bukan melakukan pembongkaran, namun Eskavasi atau pengupasan permukaan, sesuai dengan tujuan guna penelitian yang diatur dalam pasal 79 ayat 1 – 5 Undang Undang Cagar Budaya no 11 Tahun 2010.
Lalu apa pengertian Eskavasi itu ?. dilansir dari laman
Kemdikbud, bahwa Ekskavasi dalam pengertian
Kepurbakalaan adalah ; salah satu teknik pengumpulan data melalui pengupasan tanah yang dilakukan secara sistematik untuk
menemukan satu, atau himpunan tinggalan arkeologi dalam situasi insitu.
Dalam kegiatan ini akan digunakan sistem Tespit dengan cara
membuat titik-titik kotak galian secara acak, dimana sistem ini berbentuk
kotak-kotak yang berpencar sporadis disekitar cagar budaya yang akan diberi
zona pelindungan, sedangkan teknik penggaliannya menggunakan lot, dimana setiap
lot ditentukan oleh perubahan data arkeologis. Dengan ekskavasi diharapkan akan
diperoleh sebaran temuan, hubungan antar temuan, stratigrafis tanah, lingkungan
alam dan manusia setelah temuan mengalami deposit.
Demikian pula yang kami lakukan di situs makam keramat
gunung lalang merupakan eskavasi atau pengupasan tanah permukaan dengan tujuan
melihat struktur asli dari situs. Setelah terlihat struktur aslinya secara utuh,
kami akan buatkan rekomendasi kepada pihak instansi terkait. Rekomendasi itu bisa
berupa penyelamatan sementara, restorasi
hingga tata cara membangun sesuai dengan kondisi asli saat situs itu di bangun
pada masanya.
Rekomendasi ini menjadi penting sebab seringkali pembangunan
di situs cagar budaya tidak begitu memperhatikan
tata cara tentang kode etik pemugaran cagar budaya. Sebab prespektif membangun
kontruksi moderen tidak bisa diterapkan untuk membangun cagar budaya.
Sebab berhadapan dengan benda cagar budaya, sama saja
berhadapan dengan kondisi masa lalu. Artinya bagaimana sejarah dan budaya serta
keberadaan masa lalu terhadap situs yang kita hadapi, harus diperhatikan untuk
dipertahankan serta diletarikan. Mengenai tata cara pemugaran ini sebenarnya
sudah diatur secara jelas dalam pasal 77 Ayat 1 sampai 8, UU cagar budaya no 11
tahun 2010.
Lalu bagaimana kami bekerja ?. tentu kami bekerja dengan
sangat hati hati, sebab benda yang di temukan didalam situs tidak boleh di
rubah bentuk atau di geser ataupun di pindahkan dari posisi semula. Kami harus
memakai sapu lidi, kuas, atau sendok semen untuk sedikit demi sedikit mengupas
tanah yang sudah mendekatai permukaan situs.
Papan Informasi yang kami pasang di Gunung Lalang |
Lalu dapat darimana data sejarah tentang situs?. ini pertanyaan bagus, sebab mungkin ada yang beranggapan kami dapat data sejarah dari warung kopi atau bahkan mungut dijalan. Alhamdulilah data sejarah yang kami dapat bisa diuji dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bahkan siapapun bisa mendapatkan jika ingin memiliki, kami sediakan soft copynya, bahkan sebagian kami digitalisasi dan kami unggah di internet supaya generasi kedepan, atau siapapun yang berkeinginan belajar sejarah, juga bisa membaca dari sumber sumber primer.
Bagaimana kami cara mendapatkannya ?. dengan susah payah
kami harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kami harus ke ANRI (Arsip Nasional Republik
Indonesia), Perpustakaan Nasional (PERPUSNAS), dan berbagai perpustakaan eropa
yang sebagian juga telah menyajikan data dalam bentuk digital, serta riset
lapangan selama bertahun tahun untuk dapat bertemu nara sumber dan lain lain.
Kami melakukannya dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab
moral, sebab kami sadar yang kami kerjakan adalah sesuatu yang berkaitan dengan
warisan leluhur, yang membuat kita ada pada saat ini. maka tentu kami harus sangat
berhati hati dan sumber sumber yang kami dapat kelak harus bisa teruji dan
dipertanggung jawabkan.
Kendati demikian kami hingga saat ini juga masih membuka
ruang untuk diskusi dan sharing terhadap siapapun, mengenai temuan situs,
manuskrip, catatan, bahkan cerita lisan, semua kami tampung sebagai bentuk
bahan diskusi dalam konteks kesejarahan dan memperkaya khazanah dan budaya.
Karena niat baik untuk menghidupkan kembali sejarah yang merupakan
bagian dari warisan budaya maka sudah seyognya kita lakukan dengan cara cara
yang berbudaya pula. Sebab warisan budaya itu sejatinya adalah miliki kita
bersama, maka butuh kesadaran kolektif agar kita bisa bersama sama mendapatkan
berkah . Amieen
TACB Kayong Utara
Penulis : MIFTAHUL HUDA
0 komentar:
Posting Komentar